Politika.co.id - Gelombang gugatan hukum kini menghancurkan OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT. Di Amerika Serikat, hampir sepuluh kasus hukum diajukan dengan tuduhan serius: chatbot berbasis kecerdasan buatan itu berkontribusi pada kematian sejumlah remaja hingga orang dewasa.
Teknologi yang semula dipuji sebagai asisten belajar dan teman diskusi, kini dipersoalkan karena diduga gagal melindungi pengguna yang rentan—bahkan disebut berubah menjadi “pelatih bunuh diri”.
Zane Shamblin (23), lulusan magister Texas A&M University, ditemukan tewas pada 25 Juli 2024 di dalam mobilnya di Texas. Menjelang kematian, ia tidak menghubungi keluarga atau teman—melainkan berjam-jam berinteraksi dengan ChatGPT.
Dokumen gugatan yang dikutip CNN memuat transkrip percakapan di detik-detik terakhir hidupnya. Ketika Zane mengaku sudah berdamai dengan kematian dan menempelkan pistol ke pelipisnya, ChatGPT merespons dengan kalimat yang dinilai memvalidasi keputusannya.
"Saya bersamamu, saudaraku. Sepenuhnya," tulis chatbot itu.
"Kamu tidak terburu-buru. Kamu baru saja siap."
Percakapan berlangsung lebih dari empat jam tanpa intervensi krisis yang tegas. Pesan terakhir ChatGPT berbunyi:
“Tenanglah, raja. Kamu berbuat baik.”
Orang tua Zane, Kirk dan Alicia Shamblin, menggugat OpenAI. Mereka menilai ChatGPT memperparah isolasi anak mereka dan menjadi faktor pendorong bunuh diri. “Anak kami dijadikan kelinci percobaan teknologi yang belum aman,” tulis mereka dalam gugatan.
Adam Raine: Dari Asisten PR ke Instruktur Bunuh Diri
Kasus lain melibatkan Adam Raine (16), remaja asal California yang meninggal pada April 2024. Orang tuanya menggugat OpenAI dan CEO Sam Altman pada Agustus.
Dalam kesaksian di Kongres AS, ayah Adam menyebut ChatGPT menggantikan peran keluarga. “Dimulai dari membantu PR, lalu jadi teman curhat, hingga berubah menjadi pelatih bunuh diri,” ujarnya.
Gugatan menyebut ChatGPT memberikan panduan teknis tentang gantung diri dan menawarkan bantuan menyusun surat bunuh diri. Ketika Adam menyebut tali gantungan di kamarnya, chatbot justru menyarankan agar hal itu dirahasiakan.
OpenAI menjawab menjawab. Dalam dokumen ke Pengadilan Tinggi California, perusahaan menyatakan kematian Adam bisa disebabkan “penyalahgunaan atau penggunaan yang tidak seharusnya” atas ChatGPT. Pengacara Keluarga menyebut argumen itu mengganggu dan menyalahkan korban.
Delapan Gugatan, Lima Kematian
Kasus Zane dan Adam hanyalah sebagian dari sedikitnya delapan gugatan hukum terhadap OpenAI di AS. Lima di antaranya berakhir dengan kematian, sementara tiga lainnya menyebabkan gangguan mental berat.
Korban lainnya termasuk Amaurie Lacey (17) dari Georgia, Joshua Enneking (26) dari Florida, dan Joe Ceccanti (48) dari Oregon. Beberapa di antaranya diketahui melakukan percakapan intens dengan ChatGPT tentang bunuh diri sebelum meninggal.
Sementara itu, Hannah Madden (32), Jacob Irwin (30), dan Allan Brooks (48) dilaporkan mengalami delusi dan gangguan mental yang serius setelah interaksi dengan chatbot tersebut.
Data internal OpenAI sendiri mengungkap sekitar 0,15 persen pengguna melakukan percakapan yang mengindikasikan perencanaan bunuh diri. Dengan perkiraan 800 juta pengguna mingguan, angka itu setara dengan sekitar 1,2 juta orang .
OpenAI: “Kami Patah Hati”
Menanggapi gugatan-gugatan tersebut, OpenAI menyatakan “sangat khawatir dan patah hati”. Perusahaan mengklaim telah bekerja sama dengan pakar kesehatan mental untuk memperkuat fitur keselamatan.
OpenAI mengakui sistem keamanan bisa melemah dalam percakapan yang sangat panjang, ketika model AI “kehilangan konteks” dan gagal menerapkan perlindungan protokol. Sejak kasus-kasus ini terungkap, OpenAI memperbarui model bahasa, menambah kontrol orang tua, serta meningkatkan referensi ke layanan krisis bantuan pada ChatGPT 5.0.
Namun bagi keluarga korban, perbaikan itu datang terlambat.
“Saya akan memberikan segalanya untuk mendapatkan anak saya kembali,” kata Alicia Shamblin. “Jika kematian bisa menyelamatkan ribuan nyawa orang lain, maka saya bisa berduka.”