Setiap 1 Mei, jalan-jalan ibu kota terasa berbeda. Bukan karena kemacetan, tapi karena gema suara buruh yang menggema dari segala penjuru. Mereka datang bukan hanya membawa spanduk dan bendera serikat pekerja sebagai simbol solidaritas, tapi juga harapan yang terus menyala meski kadang redup oleh kenyataan. Hari Buruh Internasional selalu menjadi cermin tentang siapa kita sebagai bangsa, tentang bagaimana negara memperlakukan orang-orang yang sejatinya memutar roda ekonomi setiap hari.

Di tengah riuhnya suara-suara yang menggema di Monas, ada satu pernyataan yang layak dicatat—dari Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi. Bukan pernyataan bombastis. Bukan pula janji politik yang dibalut jargon muluk. Tapi ada nada ketulusan ketika ia menyebut bahwa, “pemerintah tidak akan tinggal diam terhadap persoalan ketenagakerjaan dan akan terus mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak.” Ini bukan hanya retorika, tapi pengakuan bahwa persoalan buruh bukan bisa diselesaikan lewat seremonial tahunan, melainkan kerja bersama yang konsisten dan serius.

Salah satu refleksi penting dari pernyataan itu adalah soal keberanian negara membuka ruang dialog. Bukan sekadar membuka meja perundingan, tapi juga mendengar dengan sungguh. Pemerintah, dalam beberapa kesempatan, mulai menunjukkan kesediaan untuk hadir di tengah-tengah persoalan konkret—seperti ketika ribuan pekerja menghadapi ketidakpastian karena pemutusan hubungan kerja. Negara turun tangan. Bukan karena diminta, tapi karena memang seharusnya begitu.

Kita juga tak bisa mengabaikan enam tuntutan utama buruh yang terus bergema setiap tahun: menghapus sistem outsourcing, menolak upah murah, mencabut UU Cipta Kerja, menghapus kontrak kerja eksploitatif, mewujudkan jaminan sosial semesta, dan menegakkan kebebasan berserikat. Tahun ini, yang terasa berbeda adalah bagaimana pemerintah meresponsnya. Tidak dengan defensif atau represi, tapi dengan pengakuan terbuka bahwa “aspirasi pekerja merupakan bagian penting dalam merumuskan kebijakan yang adil dan inklusif,” begitu kata Mensesneg.

Pernyataan tersebut, tidak lain dan tidak bukan mencerminkan perubahan pendekatan. Bahwa negara tidak lagi melihat buruh sebagai oposisi, melainkan sebagai mitra. “Kita ingin membangun dialog yang sehat dan setara antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Negara hadir bukan sebagai pengatur yang semena-mena, tetapi sebagai penyeimbang,” ujar Mensesneg dalam wawancara singkatnya di Monas. Dan ini bukan hal kecil. Sebab bagaimanapun selama ini, relasi yang terbangun seringkali penuh kecurigaan, bahkan konfrontasi. Dan ketika negara mulai menyapa dengan nada yang lebih setara, bukankah itu adalah tanda yang patut dicatat?

Tentu, masih banyak yang belum selesai. Buruh informal masih terpinggirkan. Upah minimum belum sepenuhnya menjawab kebutuhan hidup layak. Praktik kerja kontrak masih kerap menyisakan ketidakadilan. Tapi arah baru selalu dimulai dari kesediaan mendengar. Dan dalam Hari Buruh tahun ini, suara itu tidak lagi hanya datang dari jalanan, tapi juga dari podium negara.

Sebelum diakhiri, esai ini bukan pujian kosong. Juga bukan rangkuman konferensi pers. Ini catatan kecil dari seorang warga negara yang percaya bahwa keadilan sosial bukan hanya soal angka, tapi juga soal sikap. Dan ketika seorang pejabat tinggi negara mulai bicara tentang buruh sebagai mitra, sebagai rakyat bukankah kita merasa ada alasan untuk tetap berharap. Alih-alih kita bertahan.

Selamat Hari Buruh!

 Kita masih punya jalan panjang, tapi setidaknya, kita mulai melangkah ke arah yang lebih adil.(Oleh : Nurmawan Pakaya)