Beberapa hari lalu saya melintas di sebuah perempatan jalan dan melihat sekelompok remaja mengibarkan bendera hitam dengan lambang bajak laut. Di antara tawa dan semangat mereka, tergambar jelas ikon Jolly Roger dari kru Topi Jerami dalam serial anime One Piece. Mereka tampak begitu antusias, seperti sedang melakukan sesuatu yang besar. Saya tersenyum kecil. Bukan karena saya terganggu, tapi karena saya pun, diam-diam, tengah menunggu seri terbaru Kimetsu no Yaiba: Infinity Castle yang akan tayang di bioskop Indonesia 15 Agustus mendatang.
Saya tidak menyangkal bahwa proses pertumbuhan saya turut dibentuk oleh tontonan-tontonan itu. Budaya populer Jepang—dari Naruto, One Piece, hingga Attack on Titan. Terus terang saja tontonan ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga menjadi lanskap emosional generasi saya.
Fenomena pengibaran bendera bajak laut ini kemudian mengingatkan saya pada istilah yang sering diperbincangkan dalam kajian sosiologi budaya: FOMO, atawa bahasa gaulnya fear of missing out. Kecemasan akan tertinggal dari arus tren membuat banyak orang, terutama anak muda, terdorong untuk ikut-ikutan. Mereka mengenakan atribut, menyanyikan lagu tema, dan bahkan mengibarkan simbol budaya populer sebagai penanda identitas atau eksistensi kelompok. Tindakan ini bukan selalu soal pemahaman mendalam terhadap cerita atau nilai yang terkandung di dalamnya. Kadang hanya bentuk ekspresi simbolik yang bergema karena kekuatan komunitas daring.
Tentu saja, tidak ada yang salah secara moral dengan fenomena ini. Dunia kita memang tengah bergerak ke arah yang semakin cair antara budaya lokal dan global, antara identitas nasional dan ekspresi individu. Namun sebagai orang yang ikut mendayung aliran zaman, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa gelombang budaya ini menyisakan ruang refleksi yang serius. Kita hidup di era ketika, di bulan kemerdekaan, bendera bajak laut berkibar lebih tinggi dan lebih viral dibandingkan bendera Merah Putih. Apakah ini hanya sebentuk tren gaya hidup? Atau adakah yang secara perlahan mulai memudar dalam kesadaran kita tentang makna “Indonesia”?
Untuk memahami ini, mari kita mundur sejenak ke pemikiran sosiolog Michael Billig dengan konsep Banal Nationalism: sebuah bentuk nasionalisme yang hadir dalam kehidupan sehari-hari tanpa terasa sebagai sesuatu yang luar biasa. Ini bukan nasionalisme berdemonstrasi atau berteriak di panggung politik, melainkan nasionalisme yang tumbuh dalam rutinitas: melihat bendera di sekolah, menyanyikan lagu kebangsaan, menyaksikan atlet membela negara. Dalam konteks Indonesia, hal ini bisa dilihat dari bendera merah putih yang dikibarkan di setiap gang pada bulan Agustus, atau pemutaran lagu Indonesia Raya setiap pukul 10 pagi di institusi pemerintahan dan sekolah.
Dengan kata lain, negara dan masyarakat sudah menyediakan bentuk-bentuk nasionalisme yang halus, sehari-hari, dan tidak memaksa. Tetapi justru karena dengan tidak memaksa inilah , nilai-nilai itu bisa dengan mudah tenggelam di tengah banjir simbol dari luar. Terutama ketika simbol luar itu dikemas dengan cerita, visual, dan komunitas yang memikat.
Tentu kita tidak bisa dan tidak perlu meniru pendekatan masa lalu yang menutup rapat budaya asing. Missal, di masa awal kemerdekaan, pemerintah dan seniman menggunakan kebudayaan sebagai senjata perjuangan: lagu, drama, lukisan, hingga sandiwara radio menjadi medium untuk membangun narasi kebangsaan. Lalu di era Orde Baru, negara berusaha mengontrol masuknya budaya asing demi menjaga nilai-nilai nasional, meskipun seringkali pendekatannya represif. Hari ini, pendekatan semacam itu tidak hanya mustahil, tetapi juga tidak produktif. Kita tidak hidup di era sensor, tetapi di era dialog.
Nah, justru di era dialog ini, kita perlu memastikan bahwa nasionalisme tetap menjadi bagian dari ruang ekspresi bukan sebagai ruang yang hilang. Bahwa cinta tanah air bisa hadir dalam bentuk yang luwes, bahkan adaptif tanpa kehilangan akar. Anime, filmKarena itu saya percaya, perbincangan ini tak bisa hanya berhenti pada kata “boleh atau tidak”. Melainkan: mengapa ini terjadi, apa yang dilupakan, dan bagaimana kita merespons dengan bijak?
Mungkin kita bisa belajar dari One Piece itu sendiri. Dalam episode ke-16—bagian dari East Blue Saga—ketika Usopp dan teman-temannya harus mempertahankan Desa Syrup dari serangan bajak laut, ada sebuah dialog yang selalu saya ingat. Seorang anak kecil bertanya pada Usopp, “Kenapa kamu melawan mereka? Kamu bisa saja kabur.” Lalu Usopp menjawab, “Kalau bukan aku yang melindungi desa ini, siapa lagi?”
Terdengar kekanak-kanakan, tapi juga penuh tanggung jawab. Bahkan di dunia fiksi sekalipun, tanah kelahiran adalah hal yang layak dibela. Dan mungkin, dari sana kita bisa kembali membaca arti nasionalisme dengan kepala dingin, hati terbuka, dan kaki tetap berpijak di tanah yang kita sebut rumah. Hollywood, K-Pop, bahkan video game, semuanya bisa menjadi wahana pendidikan nilai, selama kita hadir sebagai pembaca aktif, bukan penerima pasif. Tugas komunitas kreatif, pendidik, dan pemerintah bukanlah menolak tren ini, tetapi membacanya, menjembatinya, bahkan meretasnya untuk kepentingan kebangsaan.
Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, tapi menyimpan getaran yang dalam: bahwa tanah air bukan soal peta atau bendera saja, tetapi tentang tempat di mana kita tumbuh, mengenal dunia, dan merasa layak dibela. Usopp mungkin hanya karakter fiktif, tapi dialognya mewakili sesuatu yang sangat manusiawi: kecintaan pada tanah yang memberi makna hidup.
Maka saya membayangkan, alangkah indahnya jika nasionalisme Indonesia juga dibaca dengan semangat yang sama. Bukan sebagai kewajiban yang kaku, melainkan sebagai ruang batin yang kita pilih untuk kemudian dijaga. Jika hari ini anak-anak muda berani berdiri membawa simbol bajak laut dengan penuh bangga, maka tugas kita bukan memarahi mereka, melainkan bertanya: bagaimana cara yang paling jitu membuat mereka juga bangga membawa Merah Putih?
Sebab nasionalisme bukan barang antik yang disimpan di lemari. Ia adalah kompas hidup yang mesti terus disesuaikan arah jarumnya. Dan seperti kapal Topi Jerami yang berlayar ke Grand Line, bangsa ini pun sedang berlayar di samudra zaman dengan badai, dengan peta yang kadang buram, tapi selalu dengan keyakinan bahwa ada rumah yang menunggu di ujung pelayaran.
Merdeka!!
Penulis : Nurmawan Pakaja