Oleh: Nasruddin Leu Ata

Peristiwa Affan Kurniawan hingga Kasus Ferry Irwandi yang melibatkan TNI telah menjadi sorotan publik terkait dinamika hubungan sipil dan Aparat di Indonesia. Peristiwa Irwandi bermula dari laporan media tentang insiden kekerasan yang melibatkan anggota TNI, yang kemudian memicu diskusi luas tentang akuntabilitas institusi militer. 

Narasi media cenderung menekankan pada aspek konflik dan ketegangan struktural antara masyarakat sipil dengan aparat keamanan. Framing Media massa membingkai kasus ini melalui dua perspektif dominan: Pertama sebagai pelanggaran HAM oleh aktor militer, dan kedua sebagai bagian dari kompleksitas penegakan hukum di daerah rawan konflik. 

Framing pertama banyak ditemukan di outlet independen, sementara media nasional cenderung mengadopsi narasi resmi dari institusi TNI. Perbedaan ini mencerminkan fragmentasi diskursus dalam pemberitaan kasus-kasus sensitif.

Kasus ini memperlihatkan ketegangan historis antara otoritas militer dan masyarakat sipil pasca-reformasi, khususnya dalam isu impunitas. Respons pemerintah melalui jalur hukum formal belum sepenuhnya menjawab tuntutan transparansi, sebagaimana terlihat dalam lambannya proses investigasi internal TNI.

Lantas apa yang terjadi di internal Aparat? Mengapa insitusi keamaan selalu menganggap kaum muda sebagai ancaman? Dan mengapa kasus semacam ini sering terjadi?

Menjawab pertanyaan semacam itu, jika berharap tulisan ini ditinjau dari perspektif hukum untuk mengukur siapa yang salah dan benar, maka tidak usah dibacakan lebih lanjut. Dikatakan demikian sebab tulisan ini hanya untuk menjelaskan bagimana sistem kapitalisme neoliberal bekerja di Indonesia.  Hal ini penting karena wacana soal sistem luput kita bicarakan dikampus akibatnya kita hanya fokus pada isu dan aktor. 

Pertama, fenomena kriminalisasi aktivis hingga upaya pembungkaman Ferry Irwandi menunjukkan bagaimana rezim neoliberal bekerja melalui aparatus negara untuk meredam perlawanan politik kaum muda. Kasus Irwandi yang dituduh sebagai "ancaman keamanan" merefleksikan apa yang dijelaskan oleh Hadiz tentang oligarki Indonesia yang mengadopsi logika neoliberal sambil mempertahankan struktur kekuasaan patrimonial. 

Kedua, mekanisme pengawasan dan kriminalisasi terhadap aktivis menjadi instrumen penting dalam mempertahankan status quo politik-ekonomi ini. Bahwa Neoliberalisme bukan sekadar kebijakan ekonomi tetapi rationality baru yang mengubah cara manusia memahami diri mereka sendiri sebagai subjek ekonomi. 

Catatan Teoritis 

Dalam kuliahnya di Collège de France, Foucault menunjukkan bagaimana neoliberalisme Chicago School mentransformasi konsep homo economicus menjadi entitas yang selalu menghitung rasionalitas tindakannya dalam semua aspek kehidupan (Foucault, 2008).

Sedangkan Giorgio Agamben berargumen bahwa biopolitik modern didasarkan pada pembedaan antara kehidupan yang layak dilindungi (bios) dan kehidupan yang dapat dibunuh tetapi tidak dikorbankan (zoē). Konsep "keadaan pengecualian" (state of exception) menjadi pusat analisis Agamben, dimana hukum ditangguhkan untuk menciptakan ruang di mana kekuasaan dapat beroperasi tanpa batas (Agamben, 2005).

Sementara itu, konsep "nekropolitik" menggambarkan bagaimana biopolitik dapat berubah menjadi kekuasaan untuk menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus mati. Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa konsep biopolitik terus berevolusi untuk memahami bentuk-bentuk baru kekuasaan dalam konteks kontemporer (Esposito, 2008).

Upaya Pembatasan Peran Pemuda

Kasus-kasus semacam ini mengungkapkan pola yang lebih luas dimana negara menggunakan kerangka hukum anti-terorisme dan keamanan nasional untuk membungkam kritik. Bahwa rezim neoliberal di Indonesia telah mengembangkan "biopolitik pengawasan" yang menargetkan khususnya kaum muda progresif melalui kombinasi pendekatan hukum dan media. 

Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana narasi "ancaman keamanan" digunakan untuk mengaburkan akar masalah politik sebenarnya dari protes-protes yang dilakukan kaum muda.

Represi terhadap aktivis di Indonesia sering kali mengikuti pola yang terjadi di negara-negara neoliberal lainnya: pertama, delegitimasi melalui stigmatisasi media; kedua, kriminalisasi menggunakan instrumen hukum; dan ketiga, normalisasi melalui aparatus budaya populer. 

Mirip dengan pola di Indonesia, di Nepal, pengawasan digital terhadap aktivis muda meningkat tajam pasca-undang-undang keamanan siber. Sementara di Prancis, penggunaan teknologi pengenalan wajah selama protes menunjukkan konvergensi antara neoliberalisme dan negara pengawasan (Bigo, 2020).

Ketiga kasus ini menunjukkan bahwa pengawasan bukan sekadar alat represi, melainkan teknologi kekuasaan yang melekat dalam pemerintahan neoliberal. Kasus Irwandi menjadi contoh nyata bagaimana wacana neolib bekerja secara sistematis untuk mengubah aktivisme politik menjadi masalah keamanan.

Persis di situ, pemikiran kritis serta partisipasi warga justru dianggap gangguan. Kaum muda, yang secara historis menjadi kekuatan progresif, kini dilemahkan melalui pengemasan ulang identitasnya menjadi "generasi milenial", "generasi digital", atau "generasi produktif" dan istilah-istilah lainnya yang mengaburkan peran politik mereka. 

Dalam narasi neoliberal, pemuda bukan lagi simbol harapan, melainkan ancaman keamanan dan  dilihat sebagai konsumen pasif, beban ekonomi, atau kelompok yang perlu diawasi.

Kehidupan mereka kini dibentuk oleh logika pasar, utang, keadaan darurat keamanan, dan pengawasan massal. Seperti dinyatakan Hardt dan Negri, masyarakat telah berubah menjadi mesin inspeksi di mana setiap institusi mencatat, mengawasi, dan menyimpan data—penjara tidak lagi fisik, tapi menyebar di seluruh tatanan sosial. 

Ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan bagian dari "metafisika militer" ala C. Wright Mills: aliansi elit politik, militer, korporasi, dan akademik yang menciptakan perang terus-menerus demi menjaga kekuasaan dan keuntungan. Dalam sistem ini, pemuda bukan lagi pelaku sejarah, melainkan objek kontrol.

 

Nasruddin Leu Ata merupakan Penulis sekaligus Editor di Politika, aktif menulis dibeberapa media online .