POLITIKA - Saya menulis ini dari sudut sebuah kamar kos kecil di pinggiran Yogyakarta. Kota ini memberi saya ruang untuk belajar, bertumbuh, dan merenung jauh dari kampung halaman di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Tapi, semakin jauh saya dari rumah, justru makin jelas luka yang saya lihat: pendidikan di NTT sedang sekarat.
Bukan karena tidak ada sekolah. Bukan karena tidak ada guru. Tapi karena sistem yang menyebut dirinya “pendidikan negeri” itu perlahan berubah menjadi ladang pungutan yang menyakiti rakyat kecil. Dan, yang lebih menyakitkan, semua ini terjadi di bawah kepemimpinan seorang Gubernur yang katanya memperjuangkan masa depan anak-anak NTT.
145.268 anak di NTT saat ini tidak bersekolah. Ini bukan angka statistik belaka. Ini wajah adik saya, tetangga saya, sepupu saya, dan ribuan anak yang memilih bekerja, menikah dini, atau hanya berdiam di rumah karena tak sanggup membayar biaya sekolah yang katanya negeri itu. Tidak sekolah karena sekolah terlalu jauh, terlalu mahal, atau terlalu menakutkan untuk anak-anak dari keluarga petani dan buruh harian.
Saya membaca laporan Kompas.id soal SMKN 2 Kota Kupang yang memungut Rp 150.000 per bulan dari setiap siswa. Bayangkan, satu sekolah mengumpulkan hampir Rp 4 miliar setahun dari orang tua. Dana itu bahkan digunakan untuk membayar honor tambahan guru dan kepala sekolah negeri yang seharusnya sudah digaji, disertifikasi, dan ditunjang oleh negara.
Di waktu yang sama, sekolah itu juga menerima Dana BOS sebesar Rp 3,55 miliar. Jadi, lebih dari Rp 7 miliar uang publik dikelola sekolah negeri, tapi anak-anak masih harus bayar untuk ikut ujian, bahkan menebus ijazahnya sendiri.
Pak Gubernur, ini bukan hanya kelalaian administratif. Ini kejahatan terhadap hak anak. Ini kekerasan sistemik yang lahir dari diamnya pemimpin.
Dari jauh di Jogja, saya bertanya-tanya:
Apakah Bapak tahu bahwa di kampung kami, banyak orang tua yang menangis diam-diam karena tak bisa melunasi “uang komite”?
Apakah Bapak tahu bahwa anak-anak kami gagal sekolah bukan karena bodoh, tapi karena dihentikan oleh pungutan yang tak manusiawi?
Saya hanya satu dari sedikit anak NTT yang berhasil menyeberang ke bangku perguruan tinggi. Tapi ratusan ribu lainnya tertinggal. Mereka kehilangan kesempatan untuk bermimpi, untuk berjuang, karena negara dan Bapak sebagai pemimpinnya tidak cukup hadir untuk mereka.
Saya tidak menuntut pendidikan yang mewah. Kami hanya ingin sekolah negeri benar-benar gratis dan adil. Kami ingin guru mengajar karena hati, bukan karena honor tambahan. Kami ingin ijazah tak lagi menjadi barang tebusan. Kami ingin bisa sekolah tanpa merasa sedang berutang.
Bapak mungkin berpikir masalah ini kecil dibanding “urusan besar provinsi.” Tapi izinkan saya mengingatkan: tidak ada pembangunan apa pun yang berarti jika ratusan ribu anak NTT dibiarkan tumbuh tanpa pendidikan.
Tiga Hal Sederhana yang Kami Minta dari Bapak:
- Hentikan pungutan liar dan audit semua bentuk “uang komite” di sekolah negeri.
- Evaluasi dan kurangi honor tambahan guru negeri. Jika mereka sudah digaji negara, mengapa rakyat harus ikut membayar lagi?
- Bangun sekolah, bukan hanya gedung. Investasikan pada anak-anak, bukan sekadar pada paving block atau stadion mini.
Di Jogja saya belajar bahwa negara bisa hadir dengan wajah manusia. Tapi di NTT, kami masih bertanya: Negara untuk siapa? Sekolah untuk siapa? Gubernur berpihak pada siapa?
Pak Gubernur, dengarkan suara kami. Kami tidak sedang meminta. Kami sedang menagih tanggung jawab. Karena pendidikan bukan kebaikan hati negara. Ia adalah hak. Dan hak itu sedang dirampas secara diam-diam setiap hari di kampung halaman kami.
Saya tahu tulisan ini mungkin tidak akan viral, apalagi disambut dengan hangat. Tapi setidaknya saya tahu, saya telah menuliskannya. Sebab diam berarti ikut menyetujui ketidakadilan. Dan sebagai anak dari Lembata, saya tidak akan diam.
Penulis: Ilhamsyah Muhammad Nurdin (Mahasiswa NTT di Yogyakarta)