JAKARTA, Politika - Pelantikan Irjen Muhammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menuai sorotan tajam karena dinilai melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Jadi hakikatnya, polisi aktif dilarang menduduki jabatan di luar kepolisian,” kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, Senin (19/5/2025).
Lucius menjelaskan bahwa pengangkatan perwira polisi aktif untuk mengisi posisi Sekjen DPD tidak sejalan dengan dua undang-undang penting, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Dalam Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian disebutkan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar institusi setelah pensiun atau mengundurkan diri. Sedangkan Pasal 414 ayat (2) UU MD3 menyebutkan bahwa jabatan Sekjen DPD RI semestinya diisi oleh pegawai negeri sipil profesional sesuai peraturan perundang-undangan.
“Benar-benar bikin kaget. Sekretaris Jenderal DPD diemban oleh seorang Irjen Polisi. Entah DPD dapat inspirasi dari mana,” ujar Lucius.
Menurutnya, DPD RI sebagai pihak pengusul calon Sekjen menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya pelantikan tersebut. Nama Irjen Iqbal diusulkan oleh pimpinan DPD kepada Presiden, yang kemudian disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 79/TPA Tahun 2025.
Lucius juga menyoroti aspek etika dalam penunjukan ini. Ia mempertanyakan loyalitas dan garis pertanggungjawaban Sekjen, apakah kepada pimpinan DPD atau institusi kepolisian. Kondisi ini dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mengganggu jalannya administrasi Kesekretariatan Jenderal DPD RI.
“Tumpang tindih hierarki jabatan ini beserta potensi konflik kepentingannya akan jadi persoalan tersendiri yang berpeluang menyandera Kesekretariatan DPD,” katanya.
Pelantikan Irjen Iqbal sebagai Sekjen DPD RI dilakukan berdasarkan Keppres tersebut dan telah berlangsung awal pekan ini. Namun, keputusan ini tampaknya masih akan terus menuai kritik, terutama dari kalangan pengamat hukum dan tata negara.