Jakarta, Politika.co.id - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah, menilai demokrasi Indonesia terus terjebak dalam siklus pengkultusan dan memanggil reputasi pemimpin karena lemahnya sistem checks and balances dalam praktik ketatanegaraan. Ia menegaskan, penguatan sistem Trias Politica menjadi agenda mendesak untuk mencegah kekuasaan terlalu bertumpu pada satu tokoh.
Menurut Fahri, selama eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak benar-benar berjalan seimbang dan saling mengontrol, masyarakat akan terus mencari kambing hitam pada sosok presiden setiap kali negara menghadapi masalah.
"Kalau sistemnya lemah, presiden akan selalu dijadikan dewa saat bertenaga dan dijadikan sasaran kemarahan setelah lengser. Ini pola berulang sejak Orde Lama sampai sekarang," kata Fahri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Ia menilai sejarah kepemimpinan nasional menunjukkan pola yang sama: Presiden Soekarno pernah diagungkan, lalu dihapus jejaknya; Presiden Soeharto dielu-elukan selama 32 tahun, kemudian dimaki-maki setelah lengser; dan pola serupa kembali terjadi pada presiden-presiden era Reformasi.
Fahri merasakan kondisi mantan Presiden Joko Widodo yang menurutnya mengalami tekanan politik dan sosial luar biasa setelah tidak lagi hadir, meski sebelumnya dipuja selama dua periode. Ia menyebut fenomena itu sebagai bukti kegagalan bangsa memahami negara sebagai sebuah sistem , bukan sekadar tokoh pemimpin.
“Padahal presiden hanyalah salah satu elemen. Kalau sistem berjalan benar, kritik tidak akan berubah menjadi kebencian, dan pujian tidak berubah menjadi kesuksesan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa penguatan Trias Politica bukan untuk menyertakan presiden, melainkan justru untuk memperkuat demokrasi agar tidak bergantung pada personalitas kekuasaan. Dalam sistem yang sehat, kata Fahri, kesalahan kebijakan dapat dikoreksi sejak dini oleh parlemen dan propaganda, tanpa harus menunggu ledakan kemarahan masyarakat.
Lebih jauh lagi, Fahri menyebut rakyat juga memegang peran kunci dalam kegagalan maupun keberhasilan demokrasi. Menurutnya, masyarakat sering abai dalam mendidik diri secara politik, lalu meluapkan kemarahan ketika pilihan politiknya berakhir mengecewakan.
“Jadi salah pilih, rakyat marah. Tapi lupa bahwa memilih itu juga tanggung jawab,” katanya.
Dalam konteks itu, Fahri membuka ruang diskusi luas untuk menerangi sistem politik nasional, termasuk mekanisme pemilu hingga kemungkinan amandemen kelima UUD 1945 . Ia menilai, setelah lebih dari tiga dekade reformasi konstitusi, banyak permasalahan struktural yang justru lahir dari celah-celah amandemen sebelumnya.
“Konstitusi itu karya manusia. Tidak sakral untuk disentuh. Kalau ada yang salah, harus diperbaiki,” ujarnya.
Fahri menegaskan Partai Gelora akan mendorong dialog terbuka lintas kelompok untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan, agar demokrasi Indonesia tidak lagi bergantung pada mitos kepemimpinan yang kuat, melainkan pada sistem yang adil, seimbang, dan tahan uji.