Jakarta, Politika - Krisis fertilitas global dipicu kondisi ekonomi dan sosial.

“Masalah fertilitas saat ini bukan soal keinginan, melainkan ketidakmampuan masyarakat membangun keluarga karena tekanan ekonomi dan sosial,” ujar Hassan Mohtashami, Perwakilan UNFPA Indonesia, dalam peluncuran laporan tahunan State of World Population (SWP) 2025, Kamis (3/7) di Jakarta.

Laporan tahunan Dana Kependudukan PBB (UNFPA) bertajuk “Krisis Fertilitas Sesungguhnya: Membangun Kekuatan Individu untuk Mengambil Keputusan Reproduksi di Dunia yang Terus Berubah” mengungkap bahwa satu dari lima orang di dunia memperkirakan tak mampu memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Penyebabnya antara lain biaya membesarkan anak yang tinggi, ketidakamanan kerja, keterbatasan perumahan, hingga kekhawatiran terhadap kondisi dunia.

Di Indonesia, lebih dari 70 persen masyarakat ingin memiliki dua anak atau lebih. Namun, menurut Mohtashami, persoalannya bukan soal target jumlah anak, melainkan kurangnya dukungan nyata seperti cuti melahirkan, layanan fertilitas terjangkau, dan lingkungan inklusif yang mendukung keluarga baru.

Survei UNFPA-YouGov di 14 negara menunjukkan bahwa 17 persen warga Indonesia memperkirakan akan punya anak lebih sedikit dari keinginan mereka. Alasan utamanya adalah keterbatasan finansial (39 persen), masalah perumahan (22 persen), dan ketidakamanan kerja (20 persen).

Deputi Pengendalian Kependudukan BKKBN, Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto, mengatakan bahwa pemerintah sudah menyusun Desain Besar Pembangunan Kependudukan (DBPK) sebagai strategi jangka panjang. Salah satu program unggulannya adalah Taman Asuh Sayang Anak yang ditujukan untuk mendukung kualitas keluarga.

Laporan UNFPA juga mencatat bahwa 40 persen orang Indonesia punya anak lebih sedikit dari yang mereka anggap ideal. Sementara itu, satu dari lima responden menyebutkan ketakutan akan masa depan seperti perubahan iklim, pandemi, atau situasi politik sebagai alasan mereka menunda punya anak.

Menariknya, Indonesia tercatat sebagai negara dengan persentase terendah dalam hal kehamilan tidak direncanakan, yaitu kurang dari 20 persen. Namun, lebih dari 20 persen responden Indonesia mengaku pernah merasa tidak mampu memiliki anak pada waktu yang mereka inginkan.

Sebanyak 14 persen warga menyatakan tidak bisa mencapai jumlah anak yang diinginkan karena tidak memiliki pasangan atau tidak menemukan pasangan yang cocok. Selain itu, 18 persen mengaku kesulitan mengakses layanan medis dan kesehatan reproduksi.

Pakar keluarga dari IPB University, Dr. Yulina Eva Riany, menekankan bahwa keputusan menunda atau tidak memiliki anak kerap didasari alasan rasional. Ketidakstabilan ekonomi, pekerjaan yang tidak pasti, serta minimnya dukungan negara membuat banyak pasangan muda memilih menunda punya anak.

Ia juga menyoroti pola pikir generasi Z yang lebih realistis dan kritis. Banyak dari mereka lebih memilih menikah sederhana di KUA, bahkan menunda punya anak sampai kondisi keuangan dan psikologis stabil. “Mereka sadar membesarkan anak itu butuh biaya besar, dari hamil sampai membesarkan,” jelas Yulina.

Faktor lain yang memengaruhi adalah keinginan perempuan untuk tetap aktif di dunia kerja. Minimnya fasilitas childcare, pendeknya cuti melahirkan, dan terbatasnya perlindungan untuk ibu bekerja membuat banyak perempuan memilih fokus pada karier dulu.

Yulina mengajak masyarakat untuk tidak memberi stigma negatif kepada generasi muda yang memilih menunda atau tidak memiliki anak. Ia berharap pemerintah menghadirkan kebijakan dan fasilitas yang mendukung, bukan hanya menuntut.

“Daripada menyalahkan mereka karena dianggap ikut tren childfree, lebih baik kita pahami dulu akar masalahnya dan hadir dengan solusi konkret,” tegasnya.